HomePublikasiPerdataDokter Hewan Malapraktik, Ini Sanksi Hukumnya

Dokter Hewan Malapraktik, Ini Sanksi Hukumnya

Pertanyaan Bagaimana pengaturan mengenai dokter hewan di Indonesia? Apakah dapat dipersamakan dengan pengaturan mengenai dokter umum maupun dokter gigi? Jika saya sebagai pemilik hewan merasa dirugikan oleh dokter hewan, maka apa yang bisa saya lakukan?

-

Dasar Hukum Dokter Hewan

Saat seseorang sakit, umumnya mereka akan berobat ke klinik dokter terdekat. Demikian pula binatang atau hewan dapat menderita suatu penyakit tertentu, sehingga pemiliknya akan membawa binatang atau hewan peliharaannya ke dokter hewan terdekat untuk dirawat dan/atau diobati.

Penyembuhan penyakit secara umum seyogyanya dilakukan oleh tenaga yang terdidik bidang kesehatan yang memiliki keahlian untuk itu. Demikian pula penyakit yang diderita oleh binatang atau hewan peliharaan diobati oleh dokter khusus yang sering disebut dokter hewan.

Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau
Mulai Dari
Rp 149.000

Lihat Semua Kelas

Dasar hukum praktik kedokteran untuk melayani manusia adalah UU Praktik Kedokteran, sedangkan dasar hukum praktik kedokteran hewan adalah UU 18/2009dan perubahannya.

UU 18/2009 membedakan hewan menjadi 3 jenis hewan yakni:[1]

  1. Hewan peliharaan adalah hewan yang kehidupannya untuk sebagian atau seluruhnya bergantung pada manusia untuk maksud tertentu.
  2. Ternak adalah hewan peliharaan yang produknya diperuntukan sebagai penghasil pangan, bahan baku industri, jasa, dan/atau hasil ikutannya yang terkait dengan pertanian.
  3. Satwa liar adalah semua binatang yang hidup di darat, air, dan/atau udara yang masih mempunyai sifat liar, baik yang hidup bebas maupun yang dipelihara oleh manusia.

Adapun pengertian dokter hewan dapat Anda temukan dalam Pasal 1 angka 7 PP 95/2012:

Dokter Hewan adalah orang yang memiliki profesi di bidang kedokteran Hewan, sertifikat kompetensi, dan kewenangan medik Veteriner dalam melaksanakan penyelenggaraan kesehatan Hewan.

Dengan demikian, dokter hewan adalah orang yang memiliki profesi di bidangkedokteran hewan, wajib memiliki sertifikat kompetensi, dan memiliki kewenangan medik veteriner dalam rangka memberikan pelayanan kesehatan terhadap hewan. Kewenangan medik veteriner mencakup pengambilan keputusan medik dan tindakan medik yang sifatnya promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif.

Tri Endah Ingtyas dalam bukunya Dokter Hewan dan Kematian Hewan (Kajian Hukum Kesehatan), menyebutkan bahwa dokter hewan adalah seorang yang memiliki kualifikasi dan otorisasi dalam melakukan praktek kedokteran hewan. Selain bertanggung jawab terhadap kesehatan hewan, ia juga berperan dalam meningkatkan kesejahteraan hewan serta kesehatan masyarakat veteriner, sehingga dokter hewan adalah dokter khusus binatang dan praktikus kedokteran hewan (hal. 1 dan 3).

Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia (“PDHI”) dalam TAP Nomor 13/Kongres Ke-18/PDHI/2018 menyatakan dalam pengambilan keputusan, dokter hewan senantiasa harus berpijak pada prinsip-prinsip fundamental profesi dengan mengedepankan:

  1. keputusan yang profesional;
  2. independensi;
  3. kenetralan;
  4. integritas;
  5. objektivitas;
  6. legislasi veteriner;
  7. organisasi umum;
  8. kebijakan mutu;
  9. prosedur dan standar;
  10. informasi, keluhan, dan naik banding;
  11. dokumentasi;
  12. introspeksi;
  13. komunikasi;
  14. sumber daya manusia dan keuangan.

Selain itu, dokter hewan juga wajib menerapkan disiplin keilmuannya dan bertindak sesuai dengan standar pelayanan, standar profesi, kode etik, kode perilaku profesional (code of professional conduct), standar prosedur operasional, ketentuan-ketentuan lain yang berlaku, kebiasaan umum (common practice) di bidang kedokteran hewan.

Jenis Pelanggaran Dokter Hewan

Dalam hal dokter hewan dianggap tidak melaksanakan tugasnya dengan baik sesuai dengan kewajiban di atas, berikut ini jenis pelanggaran yaitu:

  1. Pelanggaran Kode Etik

Etika adalah nilai-nilai yang berlaku untuk sebuah profesi yang menjadi landasan bagi anggota profesi untuk berperilaku, bersikap atau bertindak saat menjalankan profesinya.

Kode Etik Dokter Hewan diatur dalam Lampiran TAP Nomor 07/ Kongres Ke-16/PDHI/2010. Salah satu kewajiban dokter hewan dalam kode etik ini adalah memperlakukan pasien dengan penuh perhatian dan kasih sayang sebagaimana arti tersebut bagi pemiliknya, dan menggunakan segala pengetahuan, keterampilan dan pengalamannya untuk kepentingan pasiennya.

Pelanggaran terhadap kode etik ini akan dikenai sanksi etik oleh Majelis Kehormatan Perhimpunan. Selain itu, majelis juga bertugas untuk menyelesaikan perselisihan antar sejawat dan masalah hukum yang dituduhkan ke dokter hewan sebagai kelalaian profesi (malapraktik).

  1. Pelanggaran Administrasi

Beberapa contoh maladministrasi dokter hewan adalah praktik tanpa STR dan SIP, praktik di lokasi tidak sesuai dengan SIP dan berbagai pelanggaran ketentuan tentang perizinan dan administrasi rumah sakit hewan dan ketentuan administrasi praktik dokter hewan.

Untuk sanksi administratif umumnya adalah teguran atau peringatan, pencabutan SIP, denda,[2] atau jika dokter hewan tersebut adalah PNS, ia dapat dipecat dari pekerjaan dan/atau jabatannya atau dicabut status kepegawaiannya.

  1. Pelanggaran Hukum Perdata

Hubungan antara dokter hewan dengan pasien (hewan/binatang) yang diwakili oleh pemiliknya terjadi berdasarkan perjanjian terapeutik. Dengan demikian, jika dokter hewan tidak melaksanakan kewajibannya yakni apa yang seharusnya dilakukan sebagai seorang dokter hewan dan timbul kerugian bagi pasien, berlakulah Pasal 1239 KUH Perdata yang berbunyi:

Tiap perikatan untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu, wajib diselesaikan dengan memberikan penggantian biaya, kerugian dan bunga, bila debitur tidak memenuhi kewajibannya.

Unsur-unsur yang harus dibuktikan telah terjadi wanprestasi pada Pasal 1239 KUH Perdata di atas adalah dokter hewan telah memberikan pelayanan kesehatan yang tidak patut yang menyalahi tujuan kontrak terapeutik yang dibuktikan dengan adanya kesalahan atau kelalaian dokter.

Namun karena hubungan didasarkan perjanjian terapeutik, jika dikaitkan dengan malapraktik adalah yang dilihat tidak hanya hasil tindakan medis melainkan harus ditinjau pula bagaimana proses tindakan medis dilaksanakan.

Jadi, apabila terjadi akibat yang tidak dikehendaki, sepanjang dokter hewan telah berupaya sesuai dengan standar profesinya, hal tersebut tidak dapat serta-merta dikualifikasikan sebagai tindakan malapraktik.

Di lain sisi, pasien harus mengajukan bukti atau fakta bahwa dokter hewan tidak melakukan apa yang disanggupinya, dokter hewan melakukan apa yang diperjanjikan tetapi terlambat, atau dokter hewan melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan, dan karenanya pasien menderita kerugian akibat tindakan dokter hewan tersebut.

Syarat lain yang dibutuhkan adalah ada hubungan kausal (sebab akibat) antara tindakan dan kerugian yang timbul dan tidak adanya alasan pemaaf/pembenar. Dalam kasus seperti ini, pasien dapat mengajukan rekam medis sebagai bukti.

Selain itu, dasar hukum untuk meminta ganti kerugian adalah Perbuatan Melawan Hukum (PMH) dalam Pasal 1365 KUH Perdata. Perbuatan Melawan Hukum terjadi apabila dalam tindakan medis terdapat kesalahan yang menimbulkan akibat kerugian pada pasien.

Hal ini karena prinsip umum atau asas umum ketentuan tersebut sama dengan perbuatan melawan hukum yang objek pasiennya adalah manusia, sebagaimana ditulis Widodo Tresno Novianto dalam bukunya berjudul Sengketa Medik Pergulatan Hukum dalam Menentukan Unsur Kelalaian Medik (hal. 95-96).

Menurut Widodo, apabila dikaitkan dengan pelaksanaan perjanjian terapeutik sesuai dengan Pasal 1365 KUH Perdata, unsur-unsur melawan hukum yang harus dibuktikan adalah:

  1. Apakah perawatan yang diberikan dokter cukup layak (a duty of due care)?
  2. Adakah pelanggaran kewajiban (the breach of the duty)?
  3. Apakah kelalaian itu benar-benar merupakan penyebab cedera? dan
  4. Adanya kerugian (damages).

Salah satu doktrin penting yang dapat diajukan pemilik hewan untuk membuktikan kelalaian adalah didasarkan pada doktrin Res Ipsa Loquitur atau dalam Bahasa Inggris dapat diartikan ‘the thing speaks for itself’ atau ‘benda berbicara dengan sendirinya’, contohnya ditemukan kasa, atau gunting yang tertinggal di perut hewan pasca operasi.

Mengenai doktrin Res Ipsa Loquitur ini, Widodo menyebutkan beberapa syarat yaitu:

  1. Harus ditunjukkan bahwa kejadian tidak dapat terjadi tanpa adanya kelalaian/kesengajaan dari pihak pelaku (dokter);
  2. Harus ditunjukkan pula bahwa kerugian tidak ikut disebabkan oleh tindakan korban (dalam hal ini pemilik hewan) atau pihak ketiga;
  3. Saat kejadian, instrumen yang menyebabkan kerugian berada dalam kontrol yang eksklusif dari pihak yang dituduh melakukan (dokter);
  4. Penyebab kelalaian haruslah dalam lingkup kewajiban atau tanggungjawabnya (dokter); dan
  5. Bahwa kesalahan bukan dari korban (tidak ada kelalaian kontributif dari pemilik hewan).

Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

Dasar Hukum:

  1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;
  2. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan;
  3. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja;
  4. Peraturan Pemerintah Nomor 95 Tahun 2012 tentang Kesejahteraan Masyarakat Veteriner dan Kesejahteraan Hewan.

Referensi:

  1. Tri Endah Ingtyas. Dokter Hewan dan Kematian Hewan (Kajian Hukum Kesehatan), Surabaya: R.A.De.Rozarie, 2019;
  2. Widodo Tresno Novianto. Sengketa Medik Pergulatan Hukum dalam Menentukan Unsur Kelalaian Medik. Surakarta: UNS Press, 2017;
  3. TAP Nomor 07/ Kongres Ke-16/PDHI/2010 tentang Kode Etik Dokter Hewan Indonesia;
  4. TAP Nomor 13/Kongres Ke-18/PDHI/2018 tentang Acuan Dasar Profesi Kedokteran Hewan Indonesia.

[2] Pasal 34 angka 18 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerjayang mengubah Pasal 85 ayat (2) UU 18/2009

Sumber : Hukum Online

Oldi Rosy
Oldi Rosyhttps://advokatsunarta.com/oldi
Lahir di Sangsit, 01 Maret 1998, Putra kedua dari pasangan Bapak Ketut Santiawan dan Ibu Komang Susrini. Menyelesaikan Pendidikan S1 Ilmu Hukum di Universitas Pedidikan Ganesha pada tahun 2020 dan mengawali karir di dunia Hukum sejak tahun 2021 di Kantor Advokat I Nyoman Sunarta, S.H. & Rekan.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

spot_img

Post Terbaru

Tunda Sanksi Kanorayang, Krama Desa Adat Banyuasri Tunggu Banding 11 Warga...

0
Minggu, 23 Juni 2024 Tunda Sanksi Kanorayang, Krama Desa Adat Banyuasri Tunggu Banding 11 Warga Kasepekang SINGARAJA, Proses gugatan dalam persidangan di Pengadilan Negeri (PN)  Singaraja oleh 11...

Success Stories:

Terpopular